Sunday, August 9, 2009

System perbankan?

Frank Newman tak habis pikir ketika mengetahui data dihadapannya. Korsi empuk yang baru didudukinya sebagai Pimpinan Shenzhen Development Bank (SDB) terasa panas. ” Bagaimana mungkin bank ini dapat terus tumbuh diatas system management perbankan yang amburadul? ”Demikian dia menyimpulkan data yang ada dihadapannya. Mungkin Frank Newman adalah banker asing pertama yang menduduki jabatan puncak di China. Inipun karena penugasan dari perusahaanya di AS, New Bridge Capital Group yang juga pemegang saham 18% dari SDB.

Newman dikenal sebagai ahli turnaround ( restructure) dan menyimpulkan bahwa SDB telah melakukan prinsip bank yang salah atau tidak sesuai dengan konsep perbankan modern. Para manager cabang diseluruh negeri telah memberikan persetujuan kredit dalam jumlah besar tanpa persetujuan kantor pusat. Dan ada ratusan peminjam yang tak mampu membayar. Newman, berusaha menggunakan tangan polisi untuk memaksa debitur untuk membayar tapi itu hanya berhasil satu dua saja. Selebihnya sulit ditagih. Sementara kebijakan kredit tak henti hentinya di intervensi oleh pejabat pemerintah lokal.

Hampir semua perbankan di China ,dalam sejarahnya tidak pernah independent sebagaimana bank dalam konsep barat. Bank di China tak lebih hanyalah sebagai alat Pemerintah untuk menjadi kasir mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Lantas bagaimana bank tersebut dapat segera sehat. Tak sulit. Hanya dalam hitungan hari , Bank central China dapat segera mem bail out NPL tersebut. Tak perlu ada keputusan Parlemen atau apapun untuk itu. Tahun 2008, dengan mudahnya Pemerintah China mem bail out NPL empat bank terkemuka lebih dari USD 100 billion dan ini terus berlangsung. Bagi banker yang didik di Barat, cara ini adalah konyol dan tak realitis. Benarkah ?

Yang kebanyakan orang lupa bahwa di China, berapapun NPL di perbankan, tidak akan merugikan pemerintah dan mengakibatkan bank tutup.. Karena dana yang dipinjam dari bank tersebut tidak pernah lari keluar China. Kebijakan kontrol dana yang ketat memastikan dana dari sektor perbankan akan tetap berputar didalam negeri. Walaupun terjadi NPL namun akan mendorong pertumbuhan disektor lainnya atau setidaknya akan memicu konsumsi. Secara makro pemerintah tidak perlu kawatir dengan kebijakan credit yang longgar dan secara systematis ( multiflier effect dari credit ) pemerintah punya kekuatan untuk tetap membuat perbankan sebagai kasir mendorong ( agent of development ) pertumbuhan ekonomi. Data 2009, Ratio GDP terhadap pinjaman swasta sebesar 123% ( januari 2009) dan per june 2009 menjadi 146%. Dengan data ini pihak analis barat berkata ” No wonder China could achieve such a spectacular ‘recovery”

Di Indonesia, selama lima tahun belakangan ini disektor perbankan adalah bermain main dengan neraca akibat kebijakan soal CAR ( Capital Adequate Ration ) oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari kepatuhan terhadap ketentuan dari Bank International for Settlement. Fungsi bank sebagai intermediary mandul total. Padahal banyak negara maju tidak begitu memperdulikan soal CAR ini demi menjaga pertumbuhan sector rielnya. Tapi di negeri kita CAR adalah segala galanya untuk menilai kesehatan perbankan. Makanya yang terjadi adalah permainan manajemen illusi melalui akuntasi. Lihatlah kenyataanya kini, CAR bank dalam negeri rata rata berada diatas ketentuan dari BIS. Sementara dana pihak ketiga (DPK) juga terus mengalami peningkatan yang mengindikasikan peluang sector riel lebih buruk daripada deposito..

Membaiknya kinerja perbankan tersebut tidak dibarengi semakin tingginya LDR ( Loan to Deposit Ratio ). LDR masih jauh dibawah harapan memacu pertumbuhan ekonomi diatas 6%. Kalaupun ada peningkatan LDR perbankan maka itu lebih banyak dipicu oleh meningkatnya kredit konsumsi yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan sector riel kecuali memicu laju inflasi. Disamping itu , lemahnya penyaluran kredit juga sangat dirasakan oleh usaha kecil dan bahkan cenderung stagnasi. Padahal sector ini mendukung hamper 80 % penyedia lapangan pekerjaan dinegeri ini. Dari sejak era orba selalu saja sector UKM terpinggirkan.

Sebetulnya Bank masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit dengan berbagai cara, antara lain melakukan penyesuaian target laba (ROE), perhitungan risiko kredit debitur yang lebih akurat dengan menerapkan assesmen yang berdasarkan risiko dll. Namun perbankan lagi lagi tidak peduli dengan caranya plays save demi CAR. Makanya tidak aneh bila berbagai intervensi BI untuk menekan inflasi melalui kenaikan bunga SBI adalah berkah bagi perbankan nasitonal untuk meningkatkan profitabilitasnya dan kini terbukti perbankan Indonesia memiliki laba tertinggi di Asia ! dengan tingkat intermediasi terendah di Dunia. Paradox. Semua itu karena negara dirantai tangannya ....

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.