Pelajaran pertama yang didapat oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi adalah prinsip Ekonomi. Prinsip ekonomi itu yaitu dengan pengorbanan sekecil kecilnya untuk mendapatkan manfaat sebesar besarnya. Ini adalah prinsip, dogma, isme, idiologi , akhidah yang harus dipegang teguh oleh calon intelektual dibidang ekonomi. Tidak paham ini , ya tidak lulus atau tidak pantas mendapatkan baju toga keserjanaan.Kemudian mereka juga diyakinkan bahwa ilmu ekonomi ada bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi masyarakat. Mereka percaya sebagai layaknya agama yang harus dipegang teguh dalam mengatasi berbagai masalah.
Dari dogma itulah muncul berbagai derivative pengetahuan dibidang ekonomi. Tak ada satupun kebijakan yang berhungan dengan masyarakat yang tak lepas dari dogma ekonomi ini. Lahirnya tekhnologi dipusat riset ditujukan tak lebih untuk memenuhi dogma ekonomi ini. Makanya muncul berbagai produk yang competitive advance dengan merek terlindungi dari copy paste.. Keungulan bersaing yang bersandarkan kepada tekhnologi dan rekayasa melahirkan value added. Akibatnya “ laba “ menjadi setinggi tingginya dan tentu biaya serendah rendahnya. Ini didukung penuh oleh berbagai regulasi local maupun global dalam WTO. Maka para pelaku ekonomi dimanjakan oleh system untuk hidup mewah dan mewah.
Keadaan inilah menimbulkan bubble price. Sebuah lambang kepongahan dan kerakusan. Mereka merasa bangga bila menikmati laba tinggi dari pengorbanan yang kecil. Para konsumen ditipu dengan iklan menggoda. Para konsumen diperas dengan produk yang tak ada substitusinya. Para konsumen dipermainkan dengan stock dan life time. Para konsumen dibujuk membeli masa depan dengan belanja sekarang. Semua punya harga dan harga, hingga sampai pada satu titik harga tak terjangkau untuk dibeli. Sektor lembaga keuangan yang bertugas mendorong konsumsi dan produksi kehilangan tenaga dorongnya. Lembaga keuangan collaps serentak.
Para ekonom yang percaya dengan agama baru ekonomi, tetap berkeyakinan bahwa keadaan akan baik baik saja. Krisis akan segera berlalu. Terbukti kemarin Wallstreet melaporan telah membagikan dana bonus kepada CEO Emiten sebesar USD 18 billion.Forum Tahunan Ekonomi yang di adakan di Davos, menyiratkan tentang perlunya memacu “Konsumsi “ dan tetap menjadikan Bank sebagai pendorong likuiditas pasar. Meminta agar pemerintah lebih berdaya mengawasi pasar. IMF ditugaskan untuk menyehatkan perbankan didunia yang terkena masalah likuiditas melalui bantuan dana. Tapi uang tidak ada. Makanya Di Forum Ekonomi ini, IMF memaksa agar negara kaya yang masih berlebih dana untuk memberikan pinjaman kepada IMF. Jepang berniat membantu IMF tapi hanya niat. Negara kaya Arab berjanji , namun hanya janji. China , tegas menolak memberikan bantuan apapun.
Obama dengan team ekonominya mulai berang kepada senate soal dana bailout yang tak kunjung dicairkan karena masalah politik. “ Save or create job for 3 million people for few year.” Katanya. Pemerintah kita lewat APBN sudah menyiapkan dengan rencana matang untuk program stimulus ekonominya tapi belum sempat terlaksana APBN pun sudah direvisi. Kita tidak tahu , bagaimana kekuatan APBN menahan tekanan neraca pembayaran seiring merosotnya kemampuan mendapatkan valas.
Tak ada solusi yang nampak kepermukaan di Forum Ekonomi kecuali berupaya bagaimana mengalirkan likuiditas di pasar untuk mendorong konsumsi. Padahal inti persoalan bukanlah soal uang tapi lebih kepada system yang salah. Mereka harus merubah dogma, akhidah ekonomi tentang laba setinggi tingginya dengan biaya serendah rendahnya menjadi “laba” sepatutnya dengan “biaya” sewajarnya. Bila ini dilaksanakan maka pasar akan meluas tanpa harus ada suplai uang lagi dipasar. Dan yang pasti gap antara kaya dan miskin semakin mengecil. Maka kemakmuran akan terjadi secara merata seiring terbentuknya keseimbangan..
Kalau betul bertujuan untuk kemakmuaran diplanet bumi, Sudah saatnya paradigma baru dibidang ekonomi dibangun. Harus ada revolusi system dan itu harus dari perubahan pemikiran tentang ekonomi itu sendiri. Harus diawali oleh pelaku ekonomi; para penguasa, pengusaha, professional, pengamat, dan lain sebagainya. Bahwa sudah saatnya meninggalkan laba setinggi tingginya dengan pengorbanan sekecil kecilnya. Stop rakus dan hiduplah sewajarnya tanpa berlebihan. Bukankah pada akhirnya semua kemewahan hidup ini tak akan kita bawa ketika mati kecuali amal kebaikan. Bersama Allah kita bisa.
Dari dogma itulah muncul berbagai derivative pengetahuan dibidang ekonomi. Tak ada satupun kebijakan yang berhungan dengan masyarakat yang tak lepas dari dogma ekonomi ini. Lahirnya tekhnologi dipusat riset ditujukan tak lebih untuk memenuhi dogma ekonomi ini. Makanya muncul berbagai produk yang competitive advance dengan merek terlindungi dari copy paste.. Keungulan bersaing yang bersandarkan kepada tekhnologi dan rekayasa melahirkan value added. Akibatnya “ laba “ menjadi setinggi tingginya dan tentu biaya serendah rendahnya. Ini didukung penuh oleh berbagai regulasi local maupun global dalam WTO. Maka para pelaku ekonomi dimanjakan oleh system untuk hidup mewah dan mewah.
Keadaan inilah menimbulkan bubble price. Sebuah lambang kepongahan dan kerakusan. Mereka merasa bangga bila menikmati laba tinggi dari pengorbanan yang kecil. Para konsumen ditipu dengan iklan menggoda. Para konsumen diperas dengan produk yang tak ada substitusinya. Para konsumen dipermainkan dengan stock dan life time. Para konsumen dibujuk membeli masa depan dengan belanja sekarang. Semua punya harga dan harga, hingga sampai pada satu titik harga tak terjangkau untuk dibeli. Sektor lembaga keuangan yang bertugas mendorong konsumsi dan produksi kehilangan tenaga dorongnya. Lembaga keuangan collaps serentak.
Para ekonom yang percaya dengan agama baru ekonomi, tetap berkeyakinan bahwa keadaan akan baik baik saja. Krisis akan segera berlalu. Terbukti kemarin Wallstreet melaporan telah membagikan dana bonus kepada CEO Emiten sebesar USD 18 billion.Forum Tahunan Ekonomi yang di adakan di Davos, menyiratkan tentang perlunya memacu “Konsumsi “ dan tetap menjadikan Bank sebagai pendorong likuiditas pasar. Meminta agar pemerintah lebih berdaya mengawasi pasar. IMF ditugaskan untuk menyehatkan perbankan didunia yang terkena masalah likuiditas melalui bantuan dana. Tapi uang tidak ada. Makanya Di Forum Ekonomi ini, IMF memaksa agar negara kaya yang masih berlebih dana untuk memberikan pinjaman kepada IMF. Jepang berniat membantu IMF tapi hanya niat. Negara kaya Arab berjanji , namun hanya janji. China , tegas menolak memberikan bantuan apapun.
Obama dengan team ekonominya mulai berang kepada senate soal dana bailout yang tak kunjung dicairkan karena masalah politik. “ Save or create job for 3 million people for few year.” Katanya. Pemerintah kita lewat APBN sudah menyiapkan dengan rencana matang untuk program stimulus ekonominya tapi belum sempat terlaksana APBN pun sudah direvisi. Kita tidak tahu , bagaimana kekuatan APBN menahan tekanan neraca pembayaran seiring merosotnya kemampuan mendapatkan valas.
Tak ada solusi yang nampak kepermukaan di Forum Ekonomi kecuali berupaya bagaimana mengalirkan likuiditas di pasar untuk mendorong konsumsi. Padahal inti persoalan bukanlah soal uang tapi lebih kepada system yang salah. Mereka harus merubah dogma, akhidah ekonomi tentang laba setinggi tingginya dengan biaya serendah rendahnya menjadi “laba” sepatutnya dengan “biaya” sewajarnya. Bila ini dilaksanakan maka pasar akan meluas tanpa harus ada suplai uang lagi dipasar. Dan yang pasti gap antara kaya dan miskin semakin mengecil. Maka kemakmuran akan terjadi secara merata seiring terbentuknya keseimbangan..
Kalau betul bertujuan untuk kemakmuaran diplanet bumi, Sudah saatnya paradigma baru dibidang ekonomi dibangun. Harus ada revolusi system dan itu harus dari perubahan pemikiran tentang ekonomi itu sendiri. Harus diawali oleh pelaku ekonomi; para penguasa, pengusaha, professional, pengamat, dan lain sebagainya. Bahwa sudah saatnya meninggalkan laba setinggi tingginya dengan pengorbanan sekecil kecilnya. Stop rakus dan hiduplah sewajarnya tanpa berlebihan. Bukankah pada akhirnya semua kemewahan hidup ini tak akan kita bawa ketika mati kecuali amal kebaikan. Bersama Allah kita bisa.
prinsip ekonomi seperti itu apa masih pantas diterapkan pak,,,
ReplyDeletebagaimana dengan prinsip ini pak
"menghasilkan produk semurah2nya dengan kualitas sebaik2nya"
karena dijaman sekarang kompetisi sangat besar, jadi kepuasan pelanggan adalah satu hal yang sangat berpengaruh, bayangkan jika kita hanya mencari keuntungan sebesar2nya dengan biaya sekecil2nya, klu pelanggan tidak puas, ya sama aja bohong pak,customer pasti akan beralih ke produsen yang bisa membuat mereka "puas"..,
" Menghasilkan produk semurah murahnya dengan kualitas sebaik baiknya." Itu juga sangat tempat untuk yang berkaitan dengan consumer goods dan mudah dibuat dengan competisi yang massive dan modalnya dari kantor sendiri. Tapi permasalahannya perkembagan ekonomi global sekarang yang pesat dipicu oleh produksi dan konsumsi yang dua duanya sebagian besar berasal dari pinjaman, yang tentu ada minimum yield yang harus dicapai ,dan juga tingkat resiko yang rendah dan pengembalian yang cepat. faktor inilah yang membuat prinsip biaya rendah dengan laba tinggi lewat image development melalui iklan dan promosi.
ReplyDeleteMemang topik bahasan dari Pak Eri adalah perubahan mind set secara kelembagaan tentang laba. Karena inilah yang membuat sistem ekonomi renta dan sebagai biang krisis dari waktu kewaktu.