Monday, September 1, 2008

Pasar dan Petani

Mingu Lalu ( 29/8), Petani tebu di Jember , Jawa Timur membakar tanaman tebu siap tebang. Aksi ini sebagai bentuk protes karena rasa kecewa terhadap kebijakan impor gula yang diberikan pemerintah kepada industri makanan. Akibatnya stok gula nasional berlebih dan tentu harga juga jatuh. Inilah bukti hukum pasar bekerja. Globalisasi memakan anak negeri dan mengkerdilkan potensi rakyat untuk mendapatkan access kemakmuran. Keadaan ini tidak ada yang aneh dan tidak pula menjadi masalah besar bagi pemerintah yang percaya hukum pasar. Petani yang kecewa adalah petani yang gagal berkompetisi maka free entry , free fall.

Kebijakan pasar bebas mungkin yang paling active diterapkan di negeri ini. Padahal AS dan Eropa sumber kapitalis tetap melindungi kepentingan harga petani. Bahkan AS memberikan subsidi untuk melindungi petani dengan mendorong tumbuhnya industri pengolahan alternative untuk menjamin pasar petani. Sebagaimana tebu , seharusnya pemerintah memperluas jangkauan pasar tebu. Bukan hanya memikirkan kepentingan konsumen dengan memperbanyak supply melalui import gula. Di Brazil , tebu digunakan sebagai bahan energy alternative ( biofue) dan berhasil membantu petani tebu meningkatkan penghasilannya serta terhindar dari permainan harga para spekulan pasar.

Sebelumnya memang pemerintah menetapkan empat komoditas untuk pengembangan biofuel, yaitu kelapa sawit, tebu, jagung, dan jarak pagar. Pasar dunia tak terbatas akan biofuel ini. Terlebih Komisi Eropa menargetkan aturan wajib penggunaan bahan bakar biofuel 5,75% terhadap seluruh kendaraan minimal awal 2008. Ternyata peluang pasar ini hanya terfocus kepada kelapa sawit (crude palm oil/CPO) . Walau biofuel berbasis CPO harganya bersaing dengan pangan, apalagi melihat tren harga minyak goreng saat ini. Belum lagi tingginya bahan baku dan ongkos produksi sawit di Indonesia. Maklum saja , hampir semua konglomerat alias pemodal besar menanamkan uangnya disini dan pemerintah wajib melindungi produksi CPO sebagai terbesar nomor dua di dunia. Lain dengan petani tebu yang kelas teri harus menerima kenyataan dipinggirkan.

Padahal biofuel yang fluid seperti gasohol dan ethanol dari tebu lebih menjanjikan karena areal yang cocok ditanami tebu di Indonesia juga luas . Harusnya inilah dijadikan grand design pemerintah untuk strategy pengembangan komoditas tebu nasional. Thailand sudah menjadikan gula sebagai salah satu strategi besar pembangunannya. Kebutuhan gula Negari Gajah Putih itu 1,5 juta ton dengan kapasitas produksi lebih dari 7 juta ton per tahun dan harga pasar tebu tetap terjamin. Sementara tingkat produksi tebu nasional melebihi Thailand dan tentu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar biofule. Karena didukung oleh area tebu seluas 450 ribu hektare dan produksi 35 juta ton selain peningkatan rendemen 1 poin menjadi 9% atau gula sebesar 3,2 juta ton pertahun.

Yang pasti , pengembangan Industri biofule jauh lebih ideal menggunakan tebu daripada CPO. Karena biofule dari CPO mengurangi kebutuhan akan produk pangan ( minyak goring). Tapi penggunaan tebu sebagai bahan dasar biofuel tidak mempengaruhi kebutuhan akan pangan. Hal ini disebakan , bahan ethanol, yaitu molase, adalah produk sampingan dalam produksi penggilingan tebu.Bahan baku ethanol bukan gula, tapi molase, yaitu produk sampingan dari tebu. Dulu disebut limbah.

Anehnya, pengembangan industri tebu yang terintegrasi sampai kepada down stream penghasil biofuel belum dilaksanakan secara penuh , sementara pemerintah lewat Kepress Tata Niaga Gula Nasional malah membuat petani lemah berproduksi. Dan potensi untuk meraih peluang pada energy alternative ( biofule ) menjadi sia sia karena dorongan para petualang business dan pejabat yang hanya menginginkan keuntungan sesaat dengan mengorbankan potensi kemandirian rakyat mengolah tanahnya sendiri..

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.