Dari pentas debat calon president. Kita melihat, Dia memang “berbeda “. Tampil sederhana , sementara yang lain tampil memikat dengan jas Armani. Yang lain menggunakan retorika dengan menyebut diri “ saya” tapi dia menyebut dirinya “aku”. Yang lain suka menggunakan bahasa inggeris sebagai penguat argumennya tapi dia tetap dengan bahasa “aku”. Orang lain lulusan Universitas luar negeri untuk jadi politisi atau pengamat tapi dia lulusan Nusakambangan. Orang lain , butuh partai untuk besar tapi dia butuh LSM. Memang dia berbeda dalam banyak hal , terutama sikap “kirinya” yang malu malu. Tapi bagaimanapun , sebuah pentas terbentuk dari kehadirannya. Juga sebuah kearifan budaya politik diuji.
Kadang untuk melihat sebuah kearifan itu muncul apabila kita bisa melihat dari sisi lain. Masalah rakyat dan politik tidak selalu harus diselesaikan dengan kompromi di parlemen. TIdak harus sebuah system meng claim satu kebenaran sementara diluar system itu adalah salah. Dari sisi lain itu , Dia tidak melihat ada “keperkasaan” bagi orang orang di partai melawan ketidak adilan bila sudah menyangkut kepentingan pemodal. Walau sebetulnya tadinya mereka itu adalah orang orang yang gagah berani digaris depan melawan demi rakyat jelata. Partai sebuah formal kompromi parlementer yang melelahkan untuk berbicara atas nama rakyat , atas nama lingkungan yang rusak, atas nama sumberdaya yang dikuasai asing. Karena itulah dia mencoba sebuah kearifan lahir demi rakyat. Mahkamah Konstitusi diuji untuk melahirkan kearifan tampilnya calon president independent.
Ketika di Nusakambangan , dia memahami bahwa sebuah politik sangat mudah diterjemahkan, termasuk dirangkai dalam bentuk “puisi”. Karena sebuah puisi berbicara tentang hal universal dari hati nurani. Samahalnya dengan makna dari Publik atau rakyat, yang harus berlandaskan kepada keyakinan akan “ kebenaran umum” , yang bisa diterima oleh siapapun. Tapi apakah mungkin ? Bila sebuah realita akan politik adalah penyeragaman dalam bentuk aturan dan hokum dari segelintir orang. Dan politik tetaplah sebuah distori social dan religi. Dia lelah bila terus berada diluar dan berteriak lantang sendirian ditinggal teman teman seperjuangannya yang sekarang sudah menjadi orang parlemen. Saatnya berbuat walau dengan cara yang” berbeda” . Begitulah keyakinannya. Samahalnya ketika dulu dia melawan rezim Soeharto dan akhirnya menjadi terpidana oleh UU suversip
Dia orang yang serius berpikir dan bertindak. Yakin karena itu. Lantas bagaimana mungkin dia sebagai almamater Nusakambangan dapat dipersempit geraknya karena restu partai menjadi kata kunci membuat sesorang menjadi orang yang ditonton dalam pentas politik. Tidak mungkin. Sebetulnya sikapnya juga tidak lebih adalah sikap kompromi daripada hasrat munculnya sebuah revolusi. Dia melihat bahwa system yang ada tidak lagi berpihak kepada rakyat. Makanya dia sangat piawai melemparkan hal yang esensial untuk diperjuangkan. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatan atas sumber daya alam. Keadilan rakyat adalah keadilan bagi kaum buruh, tani ,nelayan serta siapa saja yang dizolimi. Walau sebetulnya semua orang juga mampu dan lebih tahu, tapi terjebak oleh boleh dan tidak.
Dia merasa pantas tampil populis dibanding yang lain. Karena yang lain sudah belepotan dengan skandal dan suap. Dia masih suci. Dia seorang yang antusias dihadapan public yang bosan dengan kepura puraan petualang dipartai. Baginya suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan berhak memberi kepada siapa saja. Samahalnya Tuhan memberi sinar matahari kepada siapapun. Tuhan tidak pernah salah kalau dia memberi tapi kadang pemberian itu tidak kita sertai denga ketaatan. Tapi ketaatan bukan hanya sebuah titah , melainkan sebuah misteri, yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih dan ikhlas. Semoga Bung Fadjroel, tetaplah dengan keyakinannya untuk berada diluar orbit. Sebagai icon perlawanan terhadap system yang brengsek. Nusakambangan terlalu mahal bagi Bung bila akhirnya harus berkompromi dibawah bendera partai. Yakinlah, hanya public dan Tuhan tempat bersandar bukan partai. Bung akan tetap bernilai dihadapan public dan Tuhan, apapun hasilnya.. Tetaplah menjadi orang yang “berbeda”.
Kadang untuk melihat sebuah kearifan itu muncul apabila kita bisa melihat dari sisi lain. Masalah rakyat dan politik tidak selalu harus diselesaikan dengan kompromi di parlemen. TIdak harus sebuah system meng claim satu kebenaran sementara diluar system itu adalah salah. Dari sisi lain itu , Dia tidak melihat ada “keperkasaan” bagi orang orang di partai melawan ketidak adilan bila sudah menyangkut kepentingan pemodal. Walau sebetulnya tadinya mereka itu adalah orang orang yang gagah berani digaris depan melawan demi rakyat jelata. Partai sebuah formal kompromi parlementer yang melelahkan untuk berbicara atas nama rakyat , atas nama lingkungan yang rusak, atas nama sumberdaya yang dikuasai asing. Karena itulah dia mencoba sebuah kearifan lahir demi rakyat. Mahkamah Konstitusi diuji untuk melahirkan kearifan tampilnya calon president independent.
Ketika di Nusakambangan , dia memahami bahwa sebuah politik sangat mudah diterjemahkan, termasuk dirangkai dalam bentuk “puisi”. Karena sebuah puisi berbicara tentang hal universal dari hati nurani. Samahalnya dengan makna dari Publik atau rakyat, yang harus berlandaskan kepada keyakinan akan “ kebenaran umum” , yang bisa diterima oleh siapapun. Tapi apakah mungkin ? Bila sebuah realita akan politik adalah penyeragaman dalam bentuk aturan dan hokum dari segelintir orang. Dan politik tetaplah sebuah distori social dan religi. Dia lelah bila terus berada diluar dan berteriak lantang sendirian ditinggal teman teman seperjuangannya yang sekarang sudah menjadi orang parlemen. Saatnya berbuat walau dengan cara yang” berbeda” . Begitulah keyakinannya. Samahalnya ketika dulu dia melawan rezim Soeharto dan akhirnya menjadi terpidana oleh UU suversip
Dia orang yang serius berpikir dan bertindak. Yakin karena itu. Lantas bagaimana mungkin dia sebagai almamater Nusakambangan dapat dipersempit geraknya karena restu partai menjadi kata kunci membuat sesorang menjadi orang yang ditonton dalam pentas politik. Tidak mungkin. Sebetulnya sikapnya juga tidak lebih adalah sikap kompromi daripada hasrat munculnya sebuah revolusi. Dia melihat bahwa system yang ada tidak lagi berpihak kepada rakyat. Makanya dia sangat piawai melemparkan hal yang esensial untuk diperjuangkan. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatan atas sumber daya alam. Keadilan rakyat adalah keadilan bagi kaum buruh, tani ,nelayan serta siapa saja yang dizolimi. Walau sebetulnya semua orang juga mampu dan lebih tahu, tapi terjebak oleh boleh dan tidak.
Dia merasa pantas tampil populis dibanding yang lain. Karena yang lain sudah belepotan dengan skandal dan suap. Dia masih suci. Dia seorang yang antusias dihadapan public yang bosan dengan kepura puraan petualang dipartai. Baginya suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan berhak memberi kepada siapa saja. Samahalnya Tuhan memberi sinar matahari kepada siapapun. Tuhan tidak pernah salah kalau dia memberi tapi kadang pemberian itu tidak kita sertai denga ketaatan. Tapi ketaatan bukan hanya sebuah titah , melainkan sebuah misteri, yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih dan ikhlas. Semoga Bung Fadjroel, tetaplah dengan keyakinannya untuk berada diluar orbit. Sebagai icon perlawanan terhadap system yang brengsek. Nusakambangan terlalu mahal bagi Bung bila akhirnya harus berkompromi dibawah bendera partai. Yakinlah, hanya public dan Tuhan tempat bersandar bukan partai. Bung akan tetap bernilai dihadapan public dan Tuhan, apapun hasilnya.. Tetaplah menjadi orang yang “berbeda”.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.