Friday, February 29, 2008

Dunia Baru

Dulu kala ketika kaum bangsawan hidup dalam keemasannya, ada tembok tebal yang memisahkannya dengan kelompok rakyat jelata. Sangking tebalnya tembok itu maka tidak ada satupun budaya bangsawan yang menular kepada rakyat jelata. Kalau kaum bangsawan hiruk pikuk dalam canda tawa pesta dansa, maka rakyat jelata duduk melingkar melantunkan gurindam secara bersama sama. Atau menonton wayang golek atau bergurau dipos ronda. Dua dunia yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula. Kalau akhirnya terjadi perlawanan dari kaum terdidik yang bosan dengan kepengohan kaum bangsawan maka itu bukanlah berasal dari rakyat jelata. Itu justru karena pemberontakan dari dalam kaum bangawan sendiri.

Selanjutnya terjadi fenomena dimana kaum bangsawan melahirkan anak kandung bernama kapitalis. Mereka tidak lagi membangun tembok tebal tapi tembok yang transfarance bagi semua golongan. Kapitalisme yang melahirkan revolusi industri dan jasa , juga melahirkan individualisme. Budaya individualisme ini merasuk kedalam kehidupan kaum jelata melalui model pakaian, gaya hidup ( life style ). Karena system kapitalis membutuhkan pasar dan emosi publik untuk membeli semua produk dan jasa yagn dihasilkan. Makanya negara yang lemah berproduksi mendapatkan peluang untuk maju sebagai konsumen , dengan mendapatkan limpahan hutang luar negeri. Ada system pencipta pasar melalui hutang dan korupsi, ada pula system yang mendorong tumbuhnya industri dengan nilai tambah super tinggi , hingga membuat yang berhutang tidak mampu membayar dan terus berhutang.

Ketika akumulasi laba melahirkan akumulasi modal karena tidak diiringi oleh peningkatan konsumsi modal ,yang justru menimbulkan tingkat tabungan disektor keuangan dan perbankan semakin tinggi. Maka konsep ekonomi pasar keuanganpun berkembang untuk memuaskan pemilik modal. Tingkat suku bunga dan resiko masa depan diperdagangkan dalam ranah maya. Akibatnya sembilan puluh persen dana berputar disektor fianancial dan hanya menyisakan sepuluh persen untuk sektor riel. Pada tahap ini negara penghutang mulai kehilangan darah karena modal semakin mahal. Mata uang semakin terdulasi. Iinvestasi sektor riel melambat jauh dibawah pertumbuhan angkatan kerja dan kelahiran. Disinilah kegamangan mulai mencuat disetiap forum perundingan penyelesaian hutang.. Mereka berteriak tentang kebijakan sirkus masa lalu yang menghasilkan kemiskinan , kerusakan lingkungan dan hanya menguntungkan negara pemberi pinjaman.

Episode selanjutnya adalah akumulator modal semakin terjepit karena sektor financial sampai pada puncak ketidak seimbangan. Harga saham bursa terkoreksi, mata uangpun terkoreksi. Kapitalispun terpuruk dan menjadi caci maki karena meruntuhkan banyak MNC dalam kubangan masalah debt to equity ratio. Ditambah lagi , sektor perbankan mulai kesulitan mengatur likuiditas karena kredit macet dari banyak negara penghutang. Memang situasi yang tidak bersahabat bagi semua. Namun , kembali lagi kapitalis menjadi trouble shooter , dengan memaksa negara miskin untuk mereformasi system politik menjadi demokratis. Agar modal berlebihan disektor financial mendapat saluran yang ” tepat ”dan akhirnya nilai nilai demokrasi hanya melegalkan penguasaan pasar bagi pemodal dan labapun sebagai dokrin yang harus ditaati.

Paham demokrasi adalah bagian dari globalisasi sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari untuk mendapatkan akses modal. Globalisasi yang bernafaskan neoliberal adalah satu satunya solusi yang tidak boleh ditawar. Batas negara terdegradasi dan kebijakan publik yang anti pasar harus dihapus. Privatisasi harus dipacu. Dukungan sosial bagi kaum miskin adalah pemborosan. Apapun kebijakan negara dibidang sosial , politik, budaya harus lah berorientasi kepada pasar dan pasar. Agar pertumbuhan ekonomi terus melaju walau hanya dalam bentuk angka angka makro yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan mikro.

Mungkin keberadaan negara miskin sudah menjadi momok yang menakutkan bagi eksitensi negara kapitalis , terutama ancaman lingkungan hidup, berkurangnya natural resource. MDGs dicanangkan untuk mengurangi kemiskinan diseluruh dunia. Sayangnya ketakutan ini tidak membuat kapitalisme terkoreksi lebih humanis, program pengentasan kemiskinan ( MDGs) tetap saja tidak menyelesaikan masalah tentang keadilan akses modal, sebagaimana Jeffey Sachs yang menulis dalam bukunya The End of Poverty (2005), bahwa situasi kemiskinan ekstrem itu ditandai oleh tiadanya enam macam modal (capital): (1) human capital, (2) business capital, (3) infrastructure, (4) natural capital, (5) public institutional capital, (6) knowledge capital. Seharusnya inilah yang diperjuangkan untuk mendapatkan keadilan bagi mereka yang miskin. Tapi Perpres No. 77 tahun 2007 sebagai acuan UU Penanaman Modal yang baru, hanya melihat keadilan bagi pemilik Modal. Istilah PMA dan PMDN dihapus. Semua potensi negeri ini adalah milik siapa saja yang mampunyai akses modal.

Yang pasti , besok , jargon "tatanan dunia baru " yang dicanangkan oleh penggagas demokratisasi dan globlisasi akan menjadi kenyataan sebagaimana lagu Imagine "You may say that I'm a dreamer/ But I'm not the only one / I hope someday you'll join us / And the world will live as one. Kemerdekaan dan kebanggaan sebagai bangsa berdaulat telah tergadaikan. Kumpulan komunitas miskin akan tetap menjadi catatan statistik yang dipedebatkan tanpa ada penyelesaian tentang keadilan dan kesejahteraan. Memang masa depan yang tidak menjanjikan apa apa...Dont cry Indonesia.!

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.