Waktu bergerak ke depan. Kekuasaan datang pergi berganti. Tapi Gunung tidak kemana mana. Tetap di tempatnya. Itulah yang disebut dengan Geopolitik. Tiap negara dan bangsa punya geopolik berbeda. Perbedaan itu karena lokasi atau letak negara itu. Bangsa China dan AS jelas berbeda. China pantainya terbatas namun hamparan lahan luas. Tetangganya banyak. AS punya lahan luas dalam satu hamparan tapi tidak banyak punya tetangga. Indonesia lahan luas tapi tersebar dibanyak pulau. Punya garis pantai terpanjang di dunia, punya tetannga banya. Nah apa jadinya kalau kita membangun berkaca kepada China atau AS, ya salah dan bego.
Gimana geopolitik Indonesia itu ? Karena luas daratan kita terbatas dibandingkan luas lautan atau lautan lebih luas daripada daratan, maka sebenarnya perencanaan pembangunan itu sudah bisa dibuat disaat kita sudah merdeka. Apa itu?. Visi pembangunan kita ya kepada potensi bahari. Bahari itu bukan hanya lautan tetapi ekosistemnya. Indonesia memiliki iklim laut yang lembab, amplitudo rendah, kelembaban udara tinggi, dan suhu yang tidak begitu beda antara siang dan malam. Iklim itu memungkinkan kita mengembangkan sektor pertanian yang tumbuh sepanjang tahun.
Nah lingkungan seperti itulah yang membentuk kebudayaan di tengah masyarakat. Itu sudah seperti lepet dengan daun. Engga bisa terpisahkan. Kalau kebijakan pembangunan tidak berdasarkan geopolitik maka itu sama saja lepet tanpa daun. Pasti kebijakan itu tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat.. Mengapa? tidak berbudaya namanya. Karena ciri khas bangsa bahari adalah welcome dengan warga asing untuk hubungan perdagangan dan tentu pengetahuan. Ekosistem kita sebagai negara bahari juga terikat dengan geostrategis negara lain. Apa itu? Ya selat. Indonesia memiliki Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. 2/3 jalur pedagangan dunia lewat empat selat ini. Empat lokasi itu jadi magnit pusat logistik dunia. Seharusnya visi Indonesia sebagai negara bahari adalah menjadi hub industri, perdagangan seperti Singapore atau Hong Kong.
Kita dibekali oleh bapak pendiri bangsa berupa Pancasila sebagai palsafah negara. Seharusnya dengan palsafah itu bisa kita terjemahkan visi pembangunan sesuai dengan geopolitik kita sebagai bangsa bahari. Tapi sejak merdeka kita tidak punya visi sebagai bangsa bahari. Makanya jangan kaget, Soeharto enak aja buang ke tong sampah visi Bedirikari Soekarno. Kemudian, kita jatuhkan Soeharto, enak aja buang tong sampah VISI GBHN. Dan era reformasi, ganti presiden ganti visi. Yang makmur lebih dulu ya cukong dan politisi. Apa sebab? kita mengulang kesalahan era kolonial. Para sultan atau raja memberikan konsesi kepada asing mengolah SDA untuk diekspor ke Eropa. Itu dikelola secara kapitalis dengan mengeksploitasi rakyat, yang hasilnya tidak memakmurkan rakyat kecuali memakmurkan asing dan kaum feodal.
Janji politik Jokowi saat usai dilantik di Senayan tahun 2014 adalah visi negara bahari. Tapi para menterinya salah menterjemahkan visi itu. Malah pembangunan infrastruktur ekonomi tidak focus ke visi Jokowi. Mereka menterjemahkan apa kata pemodal. Karenanya hanya focus kepada pembangunan phisik pelabuhan, jalan toll, KEK tapi tidak dengan VISI bahari. Makanya KEK tidak berkembang, value palabuhan tidak beranjak sebagai pelabuhan tradisional, tidak terjadi transformasi industri. Hanya sebatas olah SDA. Takdir terburuk kita sebagai bangsa adalah belum ada pemimpin yang visioner berbasis geopolitik. Tapi takdir terbaik kita adalah diberkati sumber daya alam yang melimpah dan ini berkah bagi asing, cukong dan politisi.
***
“ Bro, saya undang kamu ke Singapore. Pesawat saya hanya landing di Singapore. Datang ya.” Kata Daniel dari Swiss. Saya telp Florence dan direksi di KL untuk dampingi saya. Jam 1 siang saya dan Florence sudah sampai di Ritz Singapore. Direksi dari KL datang lebih dulu dan sudah bersama Daniel.
“ Tahun lalu China Harbour Engineering Company kerjasama dengan perusahaan malaysia, IJM Corporation membangun proyek pusat logistik. Luasnya 260 hektar. Lokasinya di dekat pelabuhan Kuantan. Proyek ini bertujuan mengembangkan Wilayah Ekonomi Pantai Timur Malaysia yang mencakup Kelantan, Terengganu dan Pahang. Pusat logistik ini dilengkapi Jaringan Kereta Api Pantai Timur, infrastruktur jalan, udara, dan serat optik. “ Cerita Direksi saya dari KL.
“ Skema pembiayaannya gimana ? tanya Daniel
“ Non recourse loan dari CDB. Artinya jaminan proyek itu sendiri. Komposisi saham mayoritas China Harbour Engineering. Sisanya dari konsosium lokal. Repayment loan di undertake oleh relokasi industri supply chain China di Kawasan Industri Kuantan, yang luasnya 5000 hektar. “ kata direksi saya.
“ Mahatir tadinya menghentikan Jaringan Kereta Api Pantai Timur. Alasanya membebani utang malaysia. Tapi oleh PM Anwar Ibrahim , dia create value Kawasan Industri Kuantan dengan melanjutkan proyek Jaringan Kereta Api Pantai Timur dan otomatis kawasan industri itu menjadi pusat ekonomi baru yang didukung infrastruktur jalan tol dan udara, serta kabel fiber optic. Pada waktu bersamaan akan mendorong lalulintas orang dari Singapore ke Malaysia karena adanya proyek itu. Maka proyek kereta cepat Singapore- Malaysia dilanjutkan lagi. “Kata saya.
Kamu tahu, kata Daniel kepada Direksi saya” Begitulah bisnis. Semakin jauh politik ikut campur maka semakin mandiri dan sehat itulah bisnis. Anwar Ibrahim hanya melaksanakan business as usual. Utang bukan ditakuti tapi kelola dengan akal sehat. Untuk melunakan China, dia tunjuk menteri transfortasi dari Etnis China. Tentu mereka bisa bernegosiasi dengan bahasa yang sama. Akan lebih mudah saling mengerti. Masalah jebakan utang era PM sebelumnya senilai kurang lebih USD 100 miliar bisa diselesaikan dengan B2B. APBN sehat lagi tanpa mikir jebakan utang. Itu solusi fenomenal sekali. “ kata Daniel.
Dan akhirnya CHina berlabuh di Malaysia bukan di Indonesia untuk pembangunan Hub industri dan logistik kawasan Asia Tenggara dan asia pasific. Malaysia smart karena visi mereka berbasis geopolitik yang kuat.
***
Sampai kini yang jadi masalah dalam hal investasi di Indonesia khususnya hilirisasi minerba dan CPO adalah kita tidak patuh kepada ESG ( Environment Social Governance ). Akibatnya daya saing kita dalam menarik investor institusi sangat lemah. Kebanyakan investor yang datang adalah kelas kambing yang memang tidak peduli dengan ESG. Namun jeleknya, para investor ini juga terhubung dengan investor istitusi seperti investment holding international dalam bentuk offtaker dan undertaker.
Anda bisa bayangkan. Udah pasti investor itu tidak peduli dengan masalah lingkungan, sosial dan standar moral. Terus kenapa pemerintah tidak berusaha membuat aturan ketat soal ESG? Karena kita dikejar utang. Bayangkan saja Debt service ratio kita dikisaran 25% hingga 30%. Artinya dari pendapatan USD 100 eksport, sebesar USD 30 untuk bayar utang dan bunga. Nah kalau ekspor terhenti atau harga komoditas jatuh, kita terancam default. Kalau default maka pasti mata uang terjun bebas.
Ya kita berpacu dengan waktu. Setiap hari argo hutang luar negeri terus jalan. Dalam keadaan tidurpun bunga jalan terus. Skedule pembayaran tidak bisa ditunda. Karenanya ekspor SDA itu satu satunya cara bisa survival. Ya mau engga mau, SDA kita dikuras, lingkungan rusak. Sementara multiplier effect rendah dibandingkan industri much product. Yang menyedihkan lagi adalah sebagian besar DHE ( Devisa Hasil Ekspor ) itu dikuasai oleh Swasta ( korporat). Jadi USD 100 ekspor itu tidak semua milik negara.
Makanya BI terus beli dollar di Pasar untuk memenuhi permintaan Menkeu bayar utang luar negeri. Ya jatuh terus rupiah. Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$. Hari ini kurs rupiah dollar Rp.14.940. Artinya nilai uang menyusut 23%. Kalau anda pegang deposito rupiah tahun 2014 dan anda tukar ke dolar hari ini maka uang anda susut 23% atau hampir seperempat. Artinya itu uang kena sanering.
Terus apa dampaknya kepada rakyat ? Tuh lihat harga bahan pokok dan hari hari terus merangkak naik, Jasa publik berupa listrik, telp, BBM yang investasinya dari mata uang asing, terus merangkak naik. Itu karena value uang yang anda pegang ditebas oleh turunnya nilai rupiah. Nah bayangkan, kalau pendapatan anda dari tahun 2014 sampai kini tidak naik diatas 30%, itu artinya kekayaan anda turun 30%. Dalam hal ini kinerja SBY dan Jokowi 11 12.
Lantas apa solusinya ? Perkuat industri dan tingkatkan rasio industri terhadap PDB diatas 20%. Tapi untuk tumbuhnya industri perlu dana riset besar, Duit engga ada. Anggaran cekak. Perbaiki lingkungan bisnis yang ramah bagi ekosistem bisnis. Tapi Index Logistik buruk, index korupsi buruk. Ya udah, Focus aja kepada reformasi Hukum. Menkopolhukam sudah tunjuk Najwa Shihab, Eros Djarot, Faisal Basri, serta pakar hukum ternama lain dalam tim reformasi hukum. Dan orang itu selama ini memang pengkritik Jokowi… lawan para buzzer Jokowi.