Wednesday, February 12, 2020

Primordialism?

Primordial
Waktu Indonesia ingin memproklamirkan kemerdekaan. Para tokoh pendiri bangsa ini berangkat dari identitas mereka masing. Ada kelompok Agama, kelompok Saudagar, kelompok cendekiawan, sosialis, kamonis, kelompok suku dan kedaerahan. Namun waktu mereka berkumpul, mereka takut sendiri menampilkan siapa diri mereka. Mungkin tepatnya bukan takut tetapi “ malu” menonjolkan siapa mereka. Mengapa? karena memang selama 350 tahun Indonesia di bawa kolonial Belanda, kelompok dan golongan itu sudah kehilangan reputasi. Mereka kumpulan orang gagal. Gagal melawan kolonialism. Penyebanya mereka juga sangat paham. Apa itu? gagal bersatu. Makanya pandangan mata tertuju kepada Soekarno dan Hatta yang membawa paham nasionalisme, yaitu persatuan dan kesatuan.

Itu sebabnya ketika rapat BPUPKI, proposal sekterian tidak mengemuka. Kalaupun ada riak dari golongan islam, itu tidak mempengaruhi tekad untuk membuang semua sekat perbedaan. Mereka lebih focus kepada persamaan yang ada untuk lahirnya persatuan Indonesia. Mungkin sejarah lahirnya Indonesia lewat forum segelintir orang dalam sidang BPUPKI itu adalah karya ilmiah yang terbaik sepanjang sejarah dunia, yaitu mampu melahirkan konsep persatuan diatas masyarakat yang primodial. 

Apa itu primordial ? Primordial adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Dalam primodial ada hubungan emosional antara patron dan clients. Siapa itu Patron ? Mereka adalah tokoh adat, tokoh daerah, tokoh agama/ustad/ulama/pendeta/romo/biksu. Mereka kadang bernaung di bawah ormas, dan kadang ormasnya terafiliasi dengan partai. Sementara clients adalah para follower, rakyat banyak. 

Perubahan peradaban
Perubahan peradabann ditandai dari perubahan sistem ekonomi dunia. Seperti yang diuraikan oleh oleh Max Weber, yang mengacu teori dari Werner Sombart yaitu Eigenwirtschaft, Handwerk, dan Kapitalisme. Pada awalnya peradaban tidak begitu banyak komunitas. Ini disebut era Eigenwirtschaft. Pada era ini, manusia memproduksi sendiri barang barang kebutuhannya. Belum ada pertukaran barang. Perluasan wilayah terjadi, perang terjadi. Itu karena komunitas bertambah dan orang butuh makan untuk hidup. Pada era ini di nusantara berdiri kerajaan hindu seperti Sriwijaya dan Majapahit. Di era ini terjadi perpindahan penduduk dari satu wilayah yang padat ke wilayah taklukan lainnya. Kemakmuran hanya pada keluarga dan kroni kerajaan saja.

Namun berlalunya waktu, manusia terus bertambah.  Perluasan wilayah tidak bisa lagi sebagai solusi. Maka lahirlah era Handwerk. Pada era ini ditandai dengan dimulainya aktifitas ekonomi berupa proses produksi dan pertukangan.  Pada zaman Handwerk inilah kerajaan islam berdiri di Nusantara. Itu sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit. Pada era ini perdagangan antar wilayah  sudah menjadi peradaban baru. Pedagang Arab, China, Spanyol, Inggris berdatangan ke Nusantara untuk melakuan barter. Antara pedagang dari luar dan penduduk kerajaan saling menguntungkan. Kemakmuran terjadi meluas pada kerajaan Islam.

Kemudian akibat perubahan ekonomi yang begitu cepat di bidang perdagangan dan manusia terus bertambah, maka munculah era kapitalisme. Pada abad ke 16 (1586-1609) terjadi revolusi kaum kelas menengah di Belanda yang mengubah perekonomian local menjadi international. Berbeda dengan inggris dan spanyol yang menerapkan kolonialisme. Sementara Belanda menerapkan pendekatan bisnis. Caranya ? Belanda membentuk konsorsium pemodal dalam bidang perdagangan. Namanya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Belanda datang ke Nusantara tidak menjajah tetapi menawarkan kerjasama dengan kerajaan yang ada di Nusantara. Istilah sekarang namanya konsesi bisnis di bidang SDA. 

Belanda lah yang mengajarkan budaya kapitalisme lewat praktek suap dan upeti kepada raja dan elite Kerajaan. Belanda juga memanfaatkan primordialism dengan memanjakan para patron dengan suap dan posisi centeng. Dengan begitu Belanda menguasai kekuasaan formal maupun informal. Situasi ini berlangsung selama dua abad tanpa tergoyahkan. Selama itupula  kesultanan Islam yang ada di Nusatara mengalami demoralisasi karena korup dan rente.  Demoralisasi bukan hanya terjadi pada elite kerajaan, tetapi juga pada pegawai VOC. Wabah korupsi VOC terjadi sangat parah, sehingga tahun 1692 VOC mengalami kemunduran. Pemerintah Belanda melakukan restrukturisasi bisnis VOC dari perusahaan dagang menjadi supply chain untuk mendukun revolusi industri di Inggris.  Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena tahun 1789 terjadi Revolusi Prancis. Belanda di bawah jajahan Prancis, termasuk wilayah koloni Belanda.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh elite Belanda dengan membentuk Republik Batavia (1795-1806). Tujuannya merebut kekuasaan wilayah koloni Hindia Timur Belanda dari Prancis.  Selama periode yang pendek ini, tahun 1798 VOC bangkrut total. Namun Republik Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815. Namun selama era kekacauan itu, Belanda berhasil menaklukan Mataram yang merupakan kerajaan islam terbesar di Jawa dan memastikan Belanda berkuasa di Jawa.

Secara berlahan lahan elite lokal kerajaan di Nusantara masuk ke dalam sistem kekuasaan kolonial. Ini dikarenakan cinta dunia sudah sampai memabukan. Mereka tidak peduli lagi soal kekuasaan itu adalah amanah Tuhan. Kalau tadinya elite kerajaan diberi hak mengontrol sendiri wilayahnya namun kini mereka menjadi orang bayaran dari Belanda, dan bekerja sesuai dengan hukum dan aturan Belanda. Selanjutnya Belanda menerapkan sistem kapital penuh untuk meningkatkan produksi pertanian. Saat itulah perkebunan besar terjadi meluas di Indonesia. Siapa yang melakukan investasi? Ya pemodal. Pemerintah kolonial hanya memberikan izin konsesi dan mendapatkan pajak dari kegiatan investasi tersebut. Sementara rakyat hanya jadi pekerja kebun yang berupah murah. 

Sistem kapitalisme tersebut berkembang pesat. Bukan hanya di Nusantara tapi juga di daerah kolonial lain seperti di Malaya dan Burma oleh Inggris, Prancis di Vietnam, Laos, Kamboja, AS di Filipina. Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun 1869 dan di bentangkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an. Antara tahun 1870an hingga 1920an merupakan periode boom kapitalis. Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan luar biasa di bawah sistem perdagangan dan finansial internasional yang berpusat di Inggris.

Namun perkembangan ekonomi yang hebat ini tentu membutuhkan SDM yang banyak khususnya kaum terpelajar. Tidak bisa terus bergantung dengan tenaga akhli dari luar. Nah saat itulah Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dan kaum pribumi mulai diseleksi untuk bisa sekolah agar kelak jadi pekerja kelas menengah untuk  jadi masinis kereta api, dokter, kasir, guru, dan manager. Inilah cikal bakal dari lahirnya kelas menengah kaum terpelajar di Indonesia. Kelak mereka inilah yang jadi motor pembaharu dan persatuan Indonesia untuk lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Lambat namun pasti perkembangan dunia ternyata dipelajari dengan seksama oleh kaum terpelajar Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Paham nasionalisme mulai bangkit dari kalangan terpelajar. Mereka awalnya terinspirasi dengan Revolusi Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité. Namun dengan kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang menimbulkan rasa percaya diri di kalangan mereka. Bahwa ternyata kehebatan orang Eropa itu hanya mitos.  Kemudian yang tak kurang menginspirasi adalah Revolusi Rusia, revolusi Proletariat. Ini menjangkiti seluruh dunia, termasuk wilayah koloni Indonesia. Makanya bisa dimaklumi bila tahun 1920, Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan utama dari perjuangan pembebasan Indonesia dari tangan penjajah. Banyak tokoh pergerakan Islam bergabung dalam PKI. 

Berikutnya dunia mengalami Depresi hebat sehingga memukul ekonomi hindia Belanda. Maklum karena ekonomi sangat tergantung pada pasar internasional. Keadaan ini disikapi secara preventip oleh kolonial Belanda dengan meredam kaum pembangkang agar upaya stabilitas ekonomi dapat berlangsung mulus. Penangkapan terhadp kaum pergerakan terjadi dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul. 

Gerakan nasionalis Indonesia mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-setengah-abad penjajahan Belanda dan tiga-setengah-tahun penjajahan Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme kelas menengah. Kelas orang rasional. Hidup ini bukan soal siapa kamu, apa agama kamu, tetapi kita adalah kita. Kemerdekaan adalah soal ekonomi. Itu diperlukan orang waras yang focus kepada produksi. Kuncinya ada pada kebebasan individu tanpa terbelenggu oleh primordial. Hanya dengan cara itu kemerdekaan akan melahirkan kemakmuran.  Kalau engga , akan melahirkan penjajahan primordial  penjajahan gaya baru atau neocolonialism. Dijajah oleh bangsa sendiri!

Setelah Indonesia merdeka, dan Indonesia masuk dalam sistem demokrasi, primordia itu bangkit lagi. Hasil pemilu 1955 adalah contoh konkrit bahwa primordialism itu membuat gagal sidang konstituate membuat UUD yang baru. Politik persatuan dikacaukan oleh kehendak golongan Islam yang ingin memasukan idiologi Islam dalam UUD 45 dan Pancasila. Jelas ini ditolak oleh Soekarno yang kemudian mengeluarkan dekrit membubarkan dewan konstituante dan kembali kepada UUD 45 yang  asli. Di era Soeharto dia berhasil membungkam Primodialism ini berkembang untuk menyerangnya namun dia gunakan primodial untuk memperkuat kekuasaan politiknya lewat Golkar dan underbow nya.

Di era reformasi, primordialism semakin mengemuka dalam ranah politik. Ini bukan hanya karena bangsa kita adalah bangsa yang beragam, tetapi ada yang non-primordial faktor yang terlibat; masalah ide politik, perilaku memilih dan fungsionaris strategis partai politik. Faktor pertama itu memperkuat primordialisme. Misalnya, hampir setiap kontestasi politik di keduanya pemilihan gubernur, walikota dan bupati rata-rata kontestan memiliki ide yang sama atau bahkan menyalin dengan sedikit modifikasi dari kontestan lain, misalnya kata "Gratis" digunakan sebagai kata akhir untuk setiap program mereka, termasuk; "Pendidikan gratis", "kesehatan gratis" dan sebagainya. 

Ini menunjukkan bahwa politisi kita kurang memiliki gagasan politik, akibatnya pemilih tidak mendapatkan perbedaan antara satu sama lain tetapi perbedaan karena aspek primordial. Faktor kedua adalah perilaku politik, para pemilih di daerah hampir tidak peduli tentang program strategis kandidat karena mereka berasumsi bahwa "strategi program" hanya layanan bibir “. Program hanya hadir ketika ada kampanye, dan setelah musim kampanye, program ini hanya berupa dokumen Visi dan misi ketika pendaftaran calon, bukan sebagai arah kebijakan di masa depan. 

Pengalaman ini dipengaruhi oleh perilaku pemilih yang memang tidak focus kepada ide-ide kandidat. Mereka lebih mudah digiring oleh patron dalam hubungan primodial seperti etnis, agama, garis keturunan. Hubungan antara patron-clients lebih cair, dan mudah dikomunikasikan. Karena berkaitan dengan “ kamu akan dapat ini atau itu kalau bapak itu jadi menang. Kita akan dapat ini dan itu, kalau calon itu menang pilkada. “ Rakyat lebih paham soal hal yang praktis daripada hal yang rumit tentang visi dan misi. Akibatnya dalam sistem demokrasi langsung, justru yang menguat bukan hubungan antara partai dengan pemilih tetapi antara patron dan clients. Karena itulah hubungan patron dengan politisi atau partai sangat saling bergantungan. Mutual simbiosis. Patron menguasai jaringan informal dan elite politik atau partai melegitimasinya dalam Pilkada dan Pemilu.

Sisi buruk Patron
Makanya jangan kaget bila Patron itu bagian dari sistem kekuasaan. Yang namanya kekuasaan tentu tidka jauh dari uang dan harta. Ada bisnis yang tidak perlu anda bangun pabrik atau bangun jaringan franchise atau bangun Unicorn, untuk kaya raya. Cukup dengan menjadi bagian mesin primordial anda sudah bisa kaya raya. Mari kita perhatikan. Para patron itu, tidak perlu kerja. Uang akan mengalir dari mereka yang ingin mengakses kekuasaan melancarkan bisis rentenya, baik di pusat maupun di daerah. Contoh tata niaga ekspor dan impor itu mendatangkan fee tidak kecil kepada patron nasional. Siapa yang memberi fee ? ya pengusaha. Karena patron itu yang loby pemerintah, dan pemerintah demi politik primordial , tidak punya pilihan untuk menolak.

Setiap menjelang Pilkada, pasti patron panen uang. Semua partai mendekatinya dan memberinya uang. Kalau anda mau bangun bisnis di daerah dalam skala besar, kalau anda tidak sowan ke patron, jangan heran walau udah ada izin, itu tidak akan menjamin anda aman. Akan ada yang ganggu, dengan aksi demo. Banyak sekali alasannya. Yang jelas kalau anda tidak memberi uang kepada patron, kelar itu bisnis. Pemerintah? hanya diam saja. Karena kepala daerah juga engga mau head to head dengan patron. Mereka taku nanti pilkada bisa kalah. Cukup ? belum.

Ada lagi, patron juga menggalang dana dari client nya dengan alasan aksi atau mendirikan tempat ibadah atau kegiatan sosial keagamaan. Uang ini mengalir ke yayasan. Apakah ada yang berani audit tuh yayayasan? Ingat engga, uang aksi 212 di kirim ke Suriah membantu ISIS, padahal secara hukum yayasan itu milik negara dan BPK berhak audit. Tapi faktanya yayasan itu tumbuh tanpa tersentuh. Bahkan banyak yang berkembang turun temurun ke keluarga Patron. Ini uang tidak sedikit untuk kaya raya tanpa kerja keras. Cukup? belum.

Ada lagi, Para patron atau keluarganya, kadang jadi komisaris perusahaan yang butuh power politik agar usaha bisa berkembang. Dari sini mereka dapat lagi golden share dan gaji sebagai komisaris. Makanya jangan kaget bila patron bisa sekolahkan anaknya ke luar negeri dan punya rumah mewah dan kendaraan mewah. Walau mereka mengajarkan hidup sederhana namun prilaku mereka hedonis. Cukup? belum.

Ada lagi , mereka juga dapat uang dari iklan kalau jadi bintang iklan produk halal. Ada juga dapat uang celeb mengisi acara TV yang mendatangkan rating dan iklan bagi TV. Mereka juga dilibatkan oleh Youtuber untuk dapatkan uang dari google add. Ini semua uang yang tiada henti mengalir ke rekening mereka. Kalau ada riak politik, mereka akan kebagian uang memberikan opini di media massa agar menguntungkan partai tertentu. Atau ikut merestui demo, yang tentu dapat uang dari aksi tersebut. Hampir semua bisnis MLM yang fraud butuh endorsed dari Patron. Kalau MLM seperti First travel, investasi syariah dan lainnya masuk ranah pidana, tidak ada patron itu kena hukum. Padahal mereka dapat fee dari adanya MLM fraud itu.

Para patron itu lebih jagoan dan lebih untouchable dibandingkan birokrat, politisi sekalipun. Mereka kaya dan tentu tidak perlu bayar pajak secara real. Itu sebab , politisasi agama itu semakin hidup dalam sistem demokrasi. Karena itu memang bisnis yang mendatangkan uang dengan mudah. Itu bukan hanya pada islam, tetapi semua agama, sebagian besar partronnya sama aja kelakuannya. Kemaruk uang.

Ancaman perpecahan SARA.
Teman saya kader partai Islam pernah saya tanya, mengapa kepala daerah cenderung berpihak kepada keinginan mayoritas Islam? Apakah mereka tidak tahu politik persatuan yang tertuang dalam UUD 45. Apakah mereka tidak paham, bahwa ketidak adilan itu akan menimbulkan bibit intoleran yang bisa menghancurkan persatuan dan kesatuan RI. Apalagi negeri ini merdeka berkat semangat persatuan itu. Teman saya tidak ingin menjawab secara langsung ketika itu. Namun waktu Pilkada DKI AHok jatuh, padahal Ahok punya elektabilitas tinggi dan sangat populer. Jawaban saya dapat, itu karena secara pribadi Abas memang sudah mampu merebut hati umat islam secara langsung lewat Ormas, atau patron islam. Kedekatannya dengan patron Islam, dan berjaraknya Ahok dengan patron islam, memudahkan ABas menang.

Bukankah program Ahok sangat islami dan membuat orang islam di DKI sangat tertolong. Tetapi, kata teman, massa islam itu pada akhirnya sangat tergantung kepada Partron nya, bukan kepada Kepala daerah atau orang yang memberinya uang. Memang tidak semua orang islam loyal dengan patronnya, terutama kaum terdidik, tetapi yang loyal jauh lebih banyak. Kemenangan Jokowi pada pemilu 2019, karena kekuatan patron Islam melemah untuk menggiring rakyat menundukung Prabowo. Itu karena adanya Ma’ruf Amin sebagai Cawapres. Memang suara karena MA tidak significant tetapi keberadaan MA sangat significant mengurangi tekanan dari patron Islam. Inilah politik.

Siapapun kepala Daerah terutama yang berada di daerah yang masih kental primorodialnya , harus berusaha menjaga perasaan patron Islam. Hal yang berkaitan dengan program pengembangan Agama lain seperti bangun Gereja, atau makanan halal, dan lain sebagainya adalah issue yang sangat mudah meledak. Kalau kepala daerah mencoba bersikap adil sesuai UU berpihak kepada minoritas, jelas dia akan dijauhi oleh Patron agama. Ketika nanti Pilkada dia pasti akan gagal mendapatkan dukungan dari patron. Kalaupun dia berhasil membujuk partron dengan uang , itu tetap tidak akan berhasil. Karena patron tetap tidak mau memaksa massanya untuk percaya kepada orang yang membela minoritas. Primodial juga sebagai pemicu lahirnya banyak Perda syariah yang membuat sistem UUD 45 dan Pancasil berderak retak. 

Makanya sistem otonomi Daerah dan Pilkada Lansung untuk memilih Gubernur, Bupati, Walikota sangat berpotensi menimbulkan perpecahan. Apalagi di tengah narasi islamisme yang dari tahun ketahun semakin kencang bertiup. Di tengah masyarakat yang masih terperangkap hubungan client-patron, politik primodial tidak bisa dihindari. Jokowi tidak bisa berbuat banyak soal situasi yang dari tahun ketahun semakin mengarah kepada intoleran terhadap hak hak minoritas, kecuali ada kemauan DPR/MPR untuk mengubah UU tentang Otonomi daerah dan Pemilu. Ubahlah, karena intoleran itu sudah sangat mengkawatirkan.

Pancasila musuh agama. ?
Tadi siang saya bertemu dengan teman. Ada yang menarik. Karena teman ini akademisi, dan juga paham soal agama. Saya tergelitik untuk bertanya seputar pernyataan dari Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang menyebut agama merupakan musuh Pancasila. Sebetulnya kalau kitai baca secara utuh ungkapanya itu, tidak ada yang salah. Mengapa ? ada tiga yang harus kita pahami. 

Pertama, Topik bahasannya adalah politik. Kan dia ketua (BPIP). Itu lembaga pendidikan politik. Jadi harus dilihat dalam konteks politik, bukan agama. Kalau dia mengatakan bahwa “ Agama adalah musuh Pancasila, itu dalam konteks politik kebangsaan. Harap maklum bahwa sesuai UUD 45 bahwa Pancasila itu adalah falsafah negara yang setiap warga negara harus mengakui dan mematuhi itu. Apapun idiologi yang mencoba mensabotase Pancasila, maka dia sudah bisa dianggap makar. 

Kedua, Yudian Wahyudi itu adalah intelektual agama. Dia Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Artinya secara ilmu agama dia termasuk mumpuni. Tidak perlu diragukan wawasan kaagamaannya.  Apa yang dia sampaikan itu bukan hanya hipotesa tetapi didukung oleh fakta dan realitas yang terjadi dalam perpolitikan sekarang ini. Hadirnya gerakan khilafah, syariah islam, dan sentimen negatif terhadap nilai nilai keberagaman, itu adalah fakta nilai pancasila tereduksi oleh agama. 

Masih belum paham? contoh kasat mata pilkada DKI adalah realita politik yang tidak bisa dibantah bahwa politisasi agama telah mereduksi nilai nilai Pancasila. Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain itu juga contoh fakta rusaknya nilai  pancasila oleh karena agama. Kalau diteruskan fakta yang ada, maka kita sampai pada kesimpulan yang mengkawatirkan akan nasip persatuan dan kesatuan bangsa ini. Padahal bangsa besar seperti Indonesia dengan penduduk diatas 250 juta sangat membutuhkan persatuan untuk bisa membangun berkelanjutan.

Ketiga, Yudian Wahyudi sedang melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.  Berharap masyarakat memahami itu, dan punya semangat sama untuk menjaga nilai nilai Pancasila. Dia berharap para elite politik dan tokoh masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga nilai nilai Pancasila. Bahwa tidak ada ruang lagi untuk berdebat soal Pancasila. Karena itu sudah final. Yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah bagaimana mereka bisa paham mana ruang privat dan mana ruang Publik. Semua orang harus menghormati agama sebagai ruang privat namun ketika masuk ke ruang politik, maka patuhilah hukum dan UUD. Tidak ada saya, atau kamu, tapi kita. Tidak ada islam, atau kristen, atau budha. yang ada adalah kita. Semua kita sama, dan bersaudara. Itulah Pancasila.

Mereka yang reaktif terhadap pernyataan dari ketua BPIP adalah partai yang hidup bergantung dari primordial dan ormas yang cari massa dari primodial. Mereka sudah menjadikan hubungan patron dan clients sebagai sumber bisnis dan kekuasaan. Ini jelas sangat buruk bagi pendidikan politik. Mengapa? Kebangkitan umat bukanlah kebangkitan partai islam atau harakah islam tetapi meningkatnya akhlak umat, yang tangguh, mandiri , amanah, menguasai sains dan mudah dipersatukan dalam semangat gotong royong senasip sepenanggungan. Kalau focusnya kepada kebangkitan harakah dan partai maka yang lahir adalah gerombolan tukang tipu seperti ISIS. Umat hanya jadi korban kebodohan. Itulah esensi mengapa bapak pendiri bangsa ini melahirkan Pancasila. Agar politik negara adalah politik mencerdaskan rakyat. Kebebasan individu tanpa terbelenggu oleh primordial.

2 comments:

NchA said...

Bernas ...babo

NchA said...

Bernas ...babi 👍

Sayangnya banyak yang reaktif dan reaksioner dengan peenyatan prof yudian tanpa melihat dialog lengkapnya dengan detik.com
Maupun melihat konteks kelompok minoritas yang sering membenturkan issue issue agama dengan pancasila yang di angkat oleh prof yudian

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...